Monday, December 14, 2015

Kopi Kawa Daun : Kopi yang Bukan Kopi

Bismillah

Kopi kawa daun telur. Salah satu varian
Pertama diajak singgah minum kopi kawa daun, Saya hanya mengiyakan saja. Tapi, mengiyakan untuk sekedar menemani saja.  Kopi? Pengen sih, tapi jujur saja perut Saya tidak bisa menerima asupan kopi.  Loh kenapa? Something wrong?  Ya tidak bisa aja, Pren.  Jawabannya pernah Saya tulis di jurnal ini : Kopi dan Jus : Minuman yang Tertukar (Sebuah Misteri)

“Coba saja dulu.  Ini bukan kopi seperti yang Aa kenal sebelumnya.”, jelas istri.  Lantas Saya pun dipesankan juga kopi kawa daun tersebut.  Benar saja, ketika saya lihat, memang penampakannya berbeda dari kopi kelazimannya. Jauh lebih cair daripada kopi yang biasanya kental. Saya aromai, beda dengan kopi.  Saya sesap sesendok.  Hmmm… Memang tidak seperti kopi, atau malah Saya berkesimpulan ini bukan kopi.  Walaupun memang ada sedikit aroma kopinya.  Ini apa sebenarnya? Kok seperti teh ya?


Setelah Saya tanya dan cari informasi, ternyata memang ini kopi.  Dalam artian memang benar berasal dari pohon kopi.  Namun, jika keumuman minuman kopi diambil dari biji kopinya, kopi kawa daun justru diolah dari daunnya.  Ya, dari daun kopi.  Sama persis seperti teh yang diolah dari daunnya tanaman teh.  Menarik juga.  Seperti layaknya kopi yang bukan kopi.  Hmmmm… Saya suka.  Hehe…  Apalagi
Atas : varian telur; bawah : original
sekarang tidak hanya kopi kawa daun original saja yang ditawarkan.  Sudah ada beberapa varian lainnya.  Ada kopi kawa daun susu dan kopi kawa daun telur, misalnya.  Dan Saya sebagai bukan penikmat susu, pilihan variannya selalu jatuh ke kopi kawa daun telur.  Lezatos maknyosss…  Rasanya seperti teh talua yang pernah Saya tulis sebelumnya. Like it deh pokoknya mah.   

Keunikan lain dari Kopi Kawa Daun ini bisa kita lihat dari media penyajiannya.  Kopi kawa daun selalu dihidangkan dalam sebuah batok kelapa yang dipotong setengah, dengan tatakan sepotong batang bambu.  Awalnya Saya sangka penyajian seperti ini tidak baku, jadi tentu akan berbeda di tiap kedai kopi kawa daun.  Ternyata Saya salah.  Semua kedai sejenis ini memang menyajikan seperti ini.  “Tradisinya memang seperti ini.”, jelas seorang kawan.  Wih, unik juga.  Bisa jadi ciri khas yang akan selalu mengingatkan penikmatnya.  Oh iya, hampir lupa.  Biasanya kopi kawa daun ini disajikan tidak menyendiri. Ada sajian pendamping lainnya.  Ada gorengan pisang, bakwan dan gorengan tempe.  Di tempat lain ada juga dengan pendamping cemilan bika atau katan (baca : ketan) bahkan durian jika sedang musim.  Nyammm…  Deuh.. Nikmatnya terbayang-bayang dah.  Heuheu... Di kedai tempat Saya terakhir menikmati kopi kawa daun, malah ditawarkan banyak menu pendampingnya.  Jadinya terkesan kopi kawa daunlah yang menjadi pendamping menu yang lain.  Ada pecel lele, mie rebus, ayam penyet dan nasi goreng.  Tapi memang begitulah denyut bisnis berjalan.  Mesti ada inovasi untuk menyesuaikan dengan selera pangsa pasar.  Supaya bisa terus survive dan bersaing di tengah deru bisnis global yang begitu kerasnya. Ceileh.. #pengamatpasarmode:ON. Heuheuheu…

Kopi kawa daun ini memang khas minuman dari ranah Minang.  Berawal mula dari kawasan Tanah Datar, kemudian minuman ini pun menjadi milik masyarakat Minangkabau secara keseluruhan.  Dan setelah ditelisik lebih jauh, ternyata ada sejarah panjang dan kelam di balik minuman pergaulan di ranah Minang ini.  Apakah itu? Mari kita sama simak bersama dengan seksama. Saya akan ajak Anda kembali menelisik buku mata Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Duh zaman baheula pisan ya? Heuheu..

Ketika zaman dahulu, kala itu penjajahan masih merajalela.   Gubernur Jenderal Van Den Bosch yang sedang berkuasa memulai penerapan tanam paksa di ranah Minang.  Menurut catatan sejarah, waktu terjadinya berada di tahun 1840.  Biji kopi sedang booming dan happening banget sebagai komoditi primadona di negeri-negeri Eropa.  Harganya pun mahal.  Oleh karena itu, berbekal kematreannya kumpeni dan menyusul suksesnya tanam paksa di Jawa, maka seluruh petani di Ranah Minang pun diperintahkan menanam kopi untuk menambah supply di pasaran dunia.  Biar gulden bisa terus semakin banyak mengalir ke kocek mereka.  Tapi, berbeda dengan para penjajah yang meraup banyak laba dan bisa menyesap nikmatnya kopi, di sisi lain alangkah malangnya nasib para petani kopi.  Bukan hanya tidak dapat keuntungan secuil pun dari hasil kopinya, mereka pun malah tidak bisa sedikit pun merasakan seperti apa rasanya kopi itu.  Miris sekali.  Seluruh biji kopi yang dihasilkan, harus disetorkan ke penjajah.  Tanpa terkecuali.  Tidak boleh ada yang tercecer sedikit pun, sebiji pun. Untuk kemudian biji kopi tersebut akan diangkut ke negeri-negeri koloni memenuhi permintaan pasar di luar sana.  Karena ingin juga merasakan nikmatnya kopi, petani kopi pun memutar otak.  Mencoba menyelundupkan biji kopi rasanya terlalu beresiko.  Maka dicobalah mengolah daun kopinya.  Toh, aroma atau bahkan rasa kopinya kemungkinan ada, walau sedikit.  Maka dimulailah eksperimen besar itu demi
Merebus daun kopi yang sudah kering (diasap)
memenuhi dahaga terhadap kopi.  Daun kopi pun dipetik, kemudian diasap dulu hingga kering sebelum diseduh dengan air panas.  Persis layaknya pengolahan daun teh. Kemudian ditambah gula putih sebagai pemanis, yang disajikan terpisah.  Sip.  Cukup untuk sekedar memenuhi rasa penasaran dan rindu akan rasa dan aroma kopi.  Hingga sekarang, minuman yang muncul dari kekejaman tanam paksa Belanda itu pun, tetap lestari.  Bahkan lengkap dengan cara penyajiannya pula.  Kopi kawa daun disajikan di batok kelapa dengan tatakan sebuah potongan batang bambu.  Nikmatnyaaa….  Demikian sedikit pelajaran sejarah kali ini.  Semoga sedikit banyaknya jadi bahan hafalan dan pengetahuan.  Siapa tahu ntar keluar di ulangan atau pas THB.

Ini kedainya. Ramai pengunjung
Kalau Anda berkunjung ke Sumatera Barat, cobalah.  Recommended banget.  Tidak hanya menyesapi rasa kopi kawa daun yang agak-agak kesat namun nikmat, tapi resapi pula sejarahnya.  Kemudian semoga bisa terbitlah rasa syukur kita akan nikmat kemerdekaan sekarang ini.  Harganya pun tak mahal kok. Berada di kisaran Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000 jika memesan varian yang lain.  Akan mahal Anda bayar, jika Anda memborong kopi kawa daun sekedai. Hahaha… #Garing.

Di seberang ada air terjun mungil..
Sekedar informasi, kedai Kopi Kawa Daun yang terakhir Saya kunjungi tepat di pinggiran jalan di selasar jalan Arosuka Kayu Aro, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.  Dulu, ketika pertama singgah, kedai ini masih teramat sederhana.  Bangunan semi permanen dengan bahan pendamping bambu ini berdiri tepat menjorok ke pinggiran jurang hutan bukit barisan. Kini sudah banyak perkembangan.  Perluasan dengan saung bambu dan kayu di depan kiri dan kanannya.  Dikepung hawa dingin dan hijaunya pepohonan hutan hujan tropis, memang menjadi suasana yang teramat cocok untuk menyesap air seduhan kopi panas penghangat tubuh yang berkeciut kedinginan.   Apalagi di daerah ini kerap hujan.  Lengkap sudah suasananya. Romantis eksotis gitu. Halah..

Sekian saja reportase dari Saya.  Semoga bermanfaat.  Selamat penasaran.  Selamat mencoba.  Tarimo kasiah.

*****

6 comments:

  1. Yang foto pertama itu kelihatannya jadi kayak luwak white coffee gitu yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya juga ya? itu salah satu varian kopi kawa daun yang dicampur telur. dicampur dengan di-mixer sampai menyatu dan berbusa. lupa ngasih caption-nya. Saya edit dulu deh :D

      Delete
  2. Pernah minum yang original, penasaran pengen nyoba yang kawa daun susu juga yang telur :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayo dicoba. hehe.. selain susu dan telur, ada juga yang jahe. pernah minun di daerah aslinya ya, Mbak? di Sumbar?

      Delete
  3. wah belum pernah tahu jadi penasaran ingin mencoba

    ReplyDelete
    Replies
    1. layak diincip-incip emang. hehe.. saya lihat sudah ada dijual di toko online kopi kawa daun yang instan. bisa di-searching. kemarin Saya lihat di Tokopedia ada yang jual.

      Delete