Bismillah
Lontong pical, gulai paku, gulai cubadak, gulai toco, gulai
tunjang, sate, katupek pitalah.
Kemungkinan besar inilah deretan makanan khas Minang yang akan kita
temui ketika kita berkeliling mencari makanan untuk sarapan di Sumatera
Barat. Memang sudah mulai banyak
ekspansi makanan sarapan dari daerah lain, seperti Bubur Ayam Bandung atau Soto
Lamongan, tapi rasanya kurang afdhol kalau berkunjung ke Ranah Minang malah
sarapan dengan makanan yang bukan khas Minangkabau. Apalagi kalau kunjungan kita hanya
sekali-sekali saja. Tapi walaupun begitu,
khusus untuk sarapan, Kita juga harus mempertimbangkan resiko sarapan di
sini. Resiko? Loh loh? Emang ada
resikonya? Hehehe..
Agak lebay juga sih dibilang resiko. Tapi ya biar sense of waspadanya muncul, maka kata ‘resiko’ sepertinya cukup untuk memperingatkan. Bukan sebuah hal yang berbahaya sebetulnya. Tapi bagi sebagian orang, hal ini harus diketahui. Supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Apakah gerangan hal tersebut? Yup, tak lain dan tak bukan terkait dengan ketahanan perut dan tentu juga selera masing-masing.
Lontong gulai paku. Sarapan Saya hari minggu kemarin :) |
Agak lebay juga sih dibilang resiko. Tapi ya biar sense of waspadanya muncul, maka kata ‘resiko’ sepertinya cukup untuk memperingatkan. Bukan sebuah hal yang berbahaya sebetulnya. Tapi bagi sebagian orang, hal ini harus diketahui. Supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Apakah gerangan hal tersebut? Yup, tak lain dan tak bukan terkait dengan ketahanan perut dan tentu juga selera masing-masing.
Deretan makanan yang Saya sebut di atas, yang notabene di
sini sering dijadikan menu sarapan, memiliki karakter pedas. Pedas?
Ya. Pedas! Bagi kita yang tidak
terbiasa dengan makanan pedas untuk mengawali hari, dijamin akan
mules-mules.
Bisa dibayangkan betapa kuatnya perut orang-orang Minang ini. Sarapan makan sate Padang yang salah satu
bahan utama bumbunya adalah cabai merah.
Begitu juga dengan katupek pitalah yang merupakan kombinasi ketupat,
gulai nangka muda, rebung dengan kuah santan bercampur lado (cabai
giling). Walaupun mungkin tak terlalu
pedas di lidah, yakin deh akan terasa panas di perut. Begitu juga dengan
lontong gulai paku (pakis), gulai cubadak (nangka muda) dan lontong pical.
Jadi teringat pas dulu ketika keluarga Saya datang untuk menghadiri
resepsi pernikahan Saya (di Minang disebut : baralek/barolek) di Kota Solok
Sumatera Barat. Setelah perjalanan
panjang dan sore harinya sampai di rumah calon istri Saya, paginya disuguhi
sarapan untuk mengawali hari. Maka
dibelikanlah lontong gulai cubadak plus rendang daging. Dan hmmmm… setelah itu mengantrilah Mamah, Teteh
dan suaminya di WC kamar mandi. Mencret.
Hehehe…
Biasanya memang, di keluarga Saya di Tatar Sunda, untuk sarapan paling
anti dengan yang namanya pedas. Makan
buah sebelum sarapan saja bisa sakit perut, apalagi ini langsung dikasih
pedas. Sempurnalah perut mules dan panas.
Awal dulu ketika baru pertama membiasakan dengan kebiasaan makan di sini,
Saya pun mengalami hal yang serupa. Sakit perut, mules, sampai mencret. Teramat rutin
menyambangi WC kamar mandi kala matahari baru saja bersinar menerang. Tapi, karena
sudah lama terbiasa, ketika makan makanan pedas untuk sarapan, tidak lagi sakit
perut. Malah ketika pulang kampung ke
Banjar Jawa Barat, orang-orang suka terheran dengan sarapan pedas Saya. Ruaarrr biasa, kagum mereka. Padahal Saya merasa biasa saja. #RapiinPoni :D
*****
memang kalo orang padang suka yang pedes2
ReplyDeleteselain kelangkaan dan mahalnya beras, kelangkaan dan mahalnya harga cabe merah jadi sumber kehebohan tersendiri. hehehe...
Deletebukan hanya pedas tapi kolestrolnya luar biasa hahaha
ReplyDeleteJustru itu yang bikin enak, Bro. Kolesterol. Makanya di Bukittinggi, khusus didirikan RS Stroke. Hahaha,,,
DeleteLoved reading this thannk you
ReplyDelete