Wednesday, November 18, 2015

Panggilan Nama Unik di Ranah Minang

Zaid berfose. Hehehe...
Awalnya Saya heran kenapa adiknya istri memanggil dengan panggilan Nia ke kakak perempuan yang jadi istri Saya ini. Nia?  Dari mana asal usul panggilan Nia ini? Nama istri Saya Khairia, panggilan kecilnya Iya atau Ria.  Kok bisa jadi Nia?  Apakah ini nama selebnya ketika dulu?  Mungkin saja.  Namun setelah agak lama, barulah Saya tahu bahwa panggilan Nia ini adalah singkatan dari Uni Ria, jadi Nia. Hoooo…. #AkibatLoadingLambat.  Uni berarti kakak perempuan dalam bahasa Minang, dan Iya atau Ria adalah nama panggilan kecilnya.


Ada teman juga yang orang Bukittinggi namanya Fajri Helmi. Di kegiatan kampus dulu kala, Kami berdua sama-sama menyandang status jomblo terakhir.  Hahaha…  Panggilannya Aji dan dipanggil Daji oleh para juniornya dan orang yang lebih muda usianya (yang tentunya orang Minang juga).  Daji, seperti yang sudah bisa Kita tebak, adalah singkatan dari Uda Aji. Uda berarti Kakak laki-laki dalam bahasa Minang, dan tentu Aji nama panggilan kecilnya.

Bagi Saya, ini adalah hal unik yang Saya temui di Ranah Minang.  Di daerah asal Saya di Tatar Sunda, tidak ada pemanggilan khas seperti ini.  Kalau manggil nama, ya nama panjang-sekatanya.  Tanto, ya dipanggil A Tanto atau Kang Tanto.  Ga pernah Saya dipanggil Ato atau Atan atau lebih ga nyambung lagi kalo dipanggil Utan. Terlebih manggil Orang Utan. Weleh…

Selain penyambungan kata panggil seperti di atas, ada juga pemanggilan dengan metode yang agak berbeda.  Kata panggilnya adalah penyingkatan dari nama panjang-sekatanya.  Misalkan namanya Zulkifli.  Jika dalam suasana lebih bernuansa non-formal, maka panggilannya menjadi Pak Zul.  Ya, manggilnya Zul saja.  Bukan Pak Zulkifli.  Berbeda dengan di daerah Saya, kalau memanggil nama ya lengkap.  Pak Zulkifli, Pak Tanto, Pak Suherman, Pak Mimin, Pak Asep, Bu Rumi, Bu Yanti.  Tidak ada penyingkatan menjadi Pak Zul, Pak Tan, Pak Su atau Pak Man, Pak Min, Pak A, Bu Rum, atau Bu Yan.  Dan Saya lihat, penggunaan panggilan dengan salah satu suku kata dalam nama, hanya dilakukan untuk Urang Awak (orang Minang) saja.  Tidak untuk yang di luar.  Saya misalkan.  Walaupun Saya sudah hampir enam tahun tinggal dan bekerja di Ranah Minang, rekan kerja atau tetangga dan siapa pun Urang Awak di sini, tidak ada yang manggil Saya Pak Tan atau Pak To.  Semua manggil nama panjang-sekatanya.  Pak Tanto atau Mas Tanto, sebagian memanggil Kang Tanto.  Tidak ada pemanggilan dengan panggilan satu suku kata saja.

Selain itu, ada juga perbedaan antara panggilan “Ibuk” (dengan hentakan di akhir kata) dengan panggilan ”Ibu” (tanpa hentakan di akhir kata).  Kata “Ibuk” dikhususkan untuk memanggil perempuan yang lebih tua dan dihormati tapi tanpa ada ada hubungan kekeluargaan.  Sedangkan kata “Ibu” dipergunakan untuk memanggil Ibu kandung.  Jadi, ketika awal-awal Saya di Ranah Minang ini, Saya sempat diprotes oleh istri ketika Saya memanggil Ibu mertua dengan ada hentakan di akhir katanya.  Sehingga jika dituliskan, jadinya bukan kata “Ibu”, melainkan ada huruf “k”-nya di belakang.  “Ibuk”.  Dan itu menandakan bahwa Ibu tidak dianggap (secara bahasa) sebagai keluarga.
Kalau di daerah lain gimana ya?  Saya ga tau juga.  Mungkin ada juga yang sama.  Atau malah lebih unik lagi.  Yang pasti di Tatar Sunda tidak ada keunikan seperti ini.

*****

No comments:

Post a Comment