Wednesday, November 18, 2015

Cerita Bullying Anak TK

Bismillah

"Qisthi ga mau sekolah...!", kali ini sembari menangis sejadi-jadinya.  Tersedu-sedu, berurai air mata.  Terus saja bersikukuh tak mau berangkat sekolah.  Mogok sekolah.  Seperti inilah awalan fragmen di sebuah pagi yang bergelayut mendung.


"Kenapa Qisthi ga mau sekolah?", tanya Saya untuk kesekian kalinya.  Dan untuk kesekian kalinya pula dijawab dengan menangis dan mengulang lagi kalimat, "Qisthi ga mau sekolah.".  Dibujuk dengan akan dibelikan jajan sepulang dari sekolah di swalayan langganan, tetap tak mau juga berangkat sekolah.  Jajannya yang malah ingat terus dan ditagih tak kenal lelah. Walah...?

Qisthi di hari pertama sekolah TK
Masih teringat ketika awal dibukanya pendaftaran TK di awal Agustus kemarin, Qisthi teramat semangat memaksa Saya dan Bundanya untuk mendaftar.  Dalam hampir setiap kesempatan, anak gadis Kami ini menggendong tas ransel boneka gajahnya ke mana-mana.  Diisinya dengan berbagai buku yang ditemukan, pensil, daun-daunan, dan entah apa lagi.  Pas ditanya mau ke mana, jawabnya "Mau sekolah.".  Antusias sekali.  Bahkan tak lelah selalu mengingatkan Saya dan Bundanya untuk tidak lupa membelikannya sepatu dan kaos kaki untuk sekolah.  Ketika awal melihat calon TK-nya, bisa terlihat matanya berbinar.  Menengok kelas yang dipenuhi warna-warni di dinding, meja-meja belajar beserta kursi mungilnya, loker tas yang berderet, serta mainan-mainan edukatif di kelasnya.

"Ayah nanti rusak!", cegah Qisthi ketika Saya duduk di kursi untuk murid TK.  Saya pun urung mengistirahatkan pantat Saya di kursi bercat merah menyala itu.
"Ayah nanti rusak!", kali ini Qisthi melarang Saya naik ayunan di halaman TK-nya.  Setelah dibilang ayunannya dari besi dan kuat, baru Qisthi mengizinkan Saya ikutan berayun-ayun bersamanya.  Sepanjang perjalanan pulang, celotehnya selalu tentang sekolah.  Mau belajar coret-coret, mewarnai, mengaji.

Tapi kini, setelah memasuki bulan keempat sekolah, Qisthi mogok sekolah.  Kenapa? Ada apa? Bosankah? Jenuhkah? Atau apa?  Ke mana semangatnya yang sebelum ini sangat besar?
"Qisthi kenapa ga mau sekolah?", tanya Saya lagi.  Setelah agak lama, dan Qisthi nampak sudah menenang.  Ketika itu, jam sekolah sudah jauh terlewati.
"Bu Guru jahat sama Qisthi?", pancing Saya.  Qisthi menggeleng.
"Teman Qisthi ada yang jahat sama Qisthi?", pancing Saya lagi.  Kali ini Qisthi diam tak menjawab.  Tangannya sibuk memainkan lego di lantai.  Ok.  Saya anggap itu sebagai jawaban ya.
"Emang Qisthi diapain?", Saya tanya setenang mungkin.
"Mmmm... Qisthi dipukul.", jawabnya.
"Dipukul gimana? Coba pukul Ayah kayak teman Qisthi mukul Qisthi." Pukkk! Qisthi memukul Saya di lengan. Waduh... Ini mukulnya sekuat tenaga gitu.
"Dipukul aja?", tanya Saya lagi.
"Ditendang juga.", kali ini Qisthi langsung mraktekin tanpa diminta. Kaki Saya ditendangnya pake style tendangan samping.  Kalau bisa nendang sekeras ini, kenapa ga bales aja nendang temennya itu? Batin Saya.
"Terus Bu Guru tahu?", interogasi pun berlanjut.  Qisthi sudah mulai mau bercerita.
"Si A dimarahi sama Bu Guru.", terangnya.
"Sering Qisthi dipukul?", kali ini dijawab dengan anggukan.  Astaghfirulloh.  Antara sedih, marah, kesal menjadi satu.  Bercampur baur.  Tak tega rasanya membayangkan anak gadis Saya diperlakukan seperti itu.  Secara fisik memang tidak membekas, tapi secara psikologis terlihat betul Qisthi sudah kena dan terluka.

Maka, setelah Bundanya pulang dari membeli sarapan, Saya sampaikan apa yang diceritakan Qisthi.  Setelah berembug berapa lama, Kami putuskan untuk mengkonfirmasi cerita Qisthi ini ke Bu Gurunya di sekolah.  Dan, confirmed!  Memang begitu kejadiannya.

Ah, Saya jadi teringat setiap kali berkesempatan mengantar Qisthi sekolah, Qisthi yang biasa cerewet dan aktif, tiba-tiba jadi pendiam dan seperti takut-takut masuk ke kelas.  Awalnya, Saya fikir ini memang karakter Qisthi yang memang seperti itu kalau di komunitas.  Tapi setelah mengetahui ada kejadian seperti ini, Saya jadi menambah asumsi alasan kependiaman Qisthi di sekolah.
Setelah Bundanya berdiskusi dengan Bu Gurunya di sekolah, Kami putuskan untuk tidak terlalu memaksa Qisthi sekolah.
"Semaunya Qisthi saja.  Lama-lama juga akan rindu sekolah lagi.  Lagian Qisthi memang masih dini untuk masuk TK.", begitu saran dari Bu Gurunya.  Dan kami pun berfikiran sama.

Seminggu lebih setelah aksi mogok sekolah Qisthi, kemarin sudah mulai masuk sekolah lagi.  Tidak ada paksaan atau pun iming-iming.  Murni keinginan Qisthi sendiri.  Walaupun di hari ini, Qisthi membolos lagi.  Biarlah.  Mungkin Qisthi harus melalui fase seperti fase Saya dulu ketika TK dan tak mau sekolah.  Bukan mogok seminggu dua minggu, tapi ga mau sekolah sama sekali alias tak bersekolah.  Hingga ujungnya, Saya sendiri yang minta untuk sekolah.  Dan prestasi Saya, cukup lah untuk modal ngelamar istri Saya sekarang ini. Eh? Hehehe... #jakasembungbawagolok

*****

Lantas apa solusinya?  Next time Saya lanjutkan lagi.  Mata dah ngantuk bener. Tos teu kiat deui.

*****

Solok, 18 November 2015
After midnight
00.13 WIB

No comments:

Post a Comment