Wednesday, January 27, 2016

Fakta Menarik Ranah Minang : Daging O Pulen



Bismillah

Fakta unik bahwa di Ranah Minang secara adat masih menerapkan sistem matrilineal dalam hal pewarisan harta, mungkin sudah hampir seluruh Indonesia tahu. Jadi, fakta ini Saya skip saja.  Terkait panggilan nama unik juga pernah Saya tulis di artikel ini : Panggilan Nama Unik di Ranah Minang

Nah, dalam tulisan kali ini, Saya akan berfokus pada menuliskan fakta-fakta menarik lainnya, yang mungkin sepertinya hal remeh.  Namun walau begitu, bagi Saya orang Sunda yang menetap di Ranah Minang, tetap saja menarik untuk dieksplorasi.  Nah ini dia fakta-fakta yang Saya eksplorasi sampai saat ini. Ke depannya, kalau lagi iseng lagi, Saya akan lanjutkan dengan edisi-edisi selanjutnya. Hehe.. Insya Allah.

Fakta Pertama : daging saja

Maksud ‘daging saja’ di sini bukan ngegado daging saja, apalagi dagingnya daging mentah.  Bukan.  Bukan itu.  Tapi tema pembahasan Saya terletak pada penyebutan ‘daging’ saja sebagai kata tunggal di Ranah Minang ini.

“Ada apa saja lauknya, Da?”, misalkan kita bertanya seperti ini di salah satu rumah makan Padang.
“Ada gulai daging, kalio daging, dendeng daging, soto daging juga ada.”, jawab Uda rumah makan Padang itu, misalnya.

Dagingnya favorit pisan di Ranah Minang. Sapi sapi sapi

Daging?  Daging apa?  Wajar dong kita bertanya seperti ini. Dari tadi dibilangnya daging terus, emangnya daging apa?  Daging kambing?  Daging ayam? Atau daging apa?  Nah, di sini salah satu keunikan di Ranah Minang.  Khas pisan.  Ketika disebut daging saja, maka yang dimaksud adalah daging sapi.  Bukan daging yang lain.  Bukan daging kambing, daging ayam, daging bebek atau daging yang lain.  Hanya daging sapi.  Kalau yang dimaksud bukan daging sapi, pasti akan disebutkan ‘gulai daging kambing’ atau ‘kalio ayam’ misalnya.  Hal ini sama halnya seperti di Sunda ketika dibilang ‘buah’ saja, maka yang dimaksud adalah buah mangga.  Bukan buah yang lain.  Sementara jeruk, manggis, durian, pisang, rambutan dan yang lainnya, disebut dengan nama buahnya secara spesifik.

“Kang, beli buahnya sekilo.”, maka si Akang penjual tidak akan ragu untuk membungkuskan buah mangga yang dijualnya.  Bukan membungkus manggis, pisang atau buah lainnya yang sama-sama dijualnya juga.


Masih terkait daging di Ranah Minang, Saya melihat fenomena unik lain ketika ‘idul Adha tiba.  Kalau di Jawa atau tempat lain banyak yang berqurban entah itu sapi atau kambing/domba, namun di sini beda.  Di Sumatera Barat, jarang dan teramat langka (untuk tidak menyebutnya tidak ada) yang berqurban kambing atau pun domba.  Mayoritas (untuk tidak mengatakan semua) berqurban sapi di sini. Aneh saja rasanya kalau ada yang qurban selain sapi di Ranah Minang.

“Kok nggak ada yang qurban kambing di sini, Bang?”, tanya Saya ke seorang kawan yang asli Minang.
“Orang sini nggak suka daging kambing. Sukanya daging sapi saja.” Oh gitu.  Sesederhana itukah alasannya?  Saya jadi terusik untuk mencari tahu lebih mendalam terkait hal ini.  Siapa tahu bisa jadi reportase yang mendunia. Heleh..

Fakta kedua : huruf O

Fakta terkait huruf O? Maksudnya bagaimana? Begini, Pemirsa.  Ehmm..  Hehe..  Selama ini kita mungkin akan berfikiran bahwa suku Jawa-lah yang paling banyak menggunakan huruf O dalam kesehariannya.  Wajar sebenernya sih.  Simak saja penggunaan huruf O dalam nama-nama orang dari suku Jawa.  Joko, Susilo, Prabowo, Suharto, Wanto, Tanto (ini sih orang suku Sunda aseli, tapi lahir di provinsi berbahasa mayoritas Jawa) dan lain sebagainya.  Iya kan?  Sehingga ketika ditanya huruf O identik dengan suku apa?  Banyak yang akan menjawab : identik dengan suku Jawa.  Tapi sebetulnya jika mau membanding-bandingkan suku mana yang lebih banyak memanfaatkan huruf O dalam keseharian, Saya lebih condong menisbatkannya ke suku Minang.  Loh kenapa?  Begini.  Secara pemberian nama, di Ranah Minang memang tidak ada pakem berhuruf O.  Tapi dalam kata-kata keseharian, huruf O sangat mendominasi.  Mari saya list sebagian kosakata umum dalam bahasa Minang berikut ini :

Mano (mana); biaso (biasa); siapo (siapa); apo (apa) ; ado (ada); barolek (baralek : resepsi pernikahan); karajo (kerja); poi (pai : pergi); koto (kota); sanjo (senja/sore); biso (bisa ular); sio-sio (sia-sia); beko (nanti); lado (lada/cabai bumbu); karano (karena); bahaso (bahasa) dan lain sebagainya.  Nah, jika di Jawa,  sependek pengetahuan Saya tentunya, teramat jarang penggunaan huruf O dalam kata-kata keseharian.  Menurut Saya, justru penggunaan kosakata ini yang lebih menonjol dalam penisbatan banyaknya huruf O ke suatu suku.  Makanya kalau dulu Saya menjawab suku yang identik dengan huruf O adalah suku Jawa, maka jawaban Saya sekarang berubah menjadi suku Minang.

Fakta ketiga : nasi pulen

Dalam berbagai iklan beras yang Saya lihat, salah satu kelebihan yang ditonjolkan oleh sang produsen adalah terkait kepulenannya kala dimasak menjadi nasi.  Putih tanpa pemutih, bebas pengawet dan PULEN.  Ya, pulen menjadi daya tarik penjualan beras di hampir seluruh Indonesia. Makanya terkenallah beras Cianjur dikarenakan kepulenannya.

Sawah bareh Solok yang kesohor itu. Hehe..
Tapi beda dengan di Ranah Minang. Pulen? Oh tidak! Bagi Urang Awak (sebutan bagi Orang Minang asli), beras pulen tidak terlalu diminati.  Bahkan banyak yang tidak menyukai, malah ada juga yang terkesan anti nasi pulen.  Loh kok? kenapa? Saya melihat hal ini lebih dikarenakan kebiasaan turun temurun sih. Tapi entah juga kenapa. Tapi, sepenelusuran Saya, dari jauh dulu hari, beras pulen memang tidak masuk dalam kamus kuliner di Ranah Minang. Jadi tidak masuk ke lidah Orang Minang yang telah terbiasa dengan nasi dengan versinya sendiri.  Malah sebagian masyarakat Minang mengkategorikan nasi pulen sebagai bubur, bukan nasi.  Nah kalau begitu, nasi seperti apa dong yang enak menurut Urang Awak? Yang disukai Urang Awak justru nasi yang berderai.  Berderai?  Ya, nasi yang tidak menyatu empuk gitu.  Kalau orang Sunda bilang, sangu (nasi) bear.  Apa ya kalau dialihbahaskan ke bahasa Indonesia? Ya kalau mau dibandingkan, sama seperti nasi yang digunakan oleh para penjual nasi goreng di jawa. Seperti itu. Makanya jangan heran, beras yang paling disanjung dan terkenal di Sumatera Barat ini adalah beras Solok.  Gimana karakteristik beras Solok itu? Ya berderai gitu ketika jadi nasi.  Nah, nasi seperti inilah yang paling disukai di Ranah Minang.  Bahkan, saking nikmatnya, sampai dibuatkan lagu khusus pula terkait beras Solok ini. Isinya menyanjung betapa nikmatnya beras Solok.  Judulnya “Bareh Solok”.  Lagu ini sepertinya sudah menjadi lagu daerah yang wajib di Sumatera Barat.

Sekian dulu tulisan sebagian fakta menarik dari Ranah Minang. Menarik karena bisa jadi berbeda dengan di daerah lain, atau malah tidak ada di wilayah selain di Ranah Minang.  Masih ada yang lainnya selain tiga hal di atas, insya Allah akan Saya tuliskan pada kesempatan yang akan datang. Stay tuned. Halah..

*****

7 comments:

  1. gaya penulisannya makin enak dibaca kang.. good job

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah kalo gitu, Ndre. Berarti belajar menulis Saya sudah ada perkembangan. hehehe..

    ReplyDelete
  3. Iyaa, urang awak ga suka nasi pulen. Mereka lebih suka Beras pera, yg biasa utk nasi goreng

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ini pengakuan dari pelaku. hehehe.. Beras pera ya namanya. Baru tahu. Hatur nuhun :)

      Delete
  4. Kalau orang jawa, kata daging jarang digunakan, Umumnya menggunakan kata ikan. Ikan sapi, ikan kambing, ikan laut, ikan tawar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. secara bahasa daerah gitu ya? sip sip sip.. kalau di Sunda (masih pulau Jawa juga), masih pakai kosakata daging :)

      Delete
  5. Lauk itu diartikan dengan ikan, ikan yg benaran ikan ya.Kalau lauk pauk disebut dengan Samba.Salut ambo kang,anda memperkenalkan minang secara live,bukan sekedar dengar dengar

    ReplyDelete